Monday, February 25, 2008

BENTENG MENARA SEBAGAI SARANA PERTAHANAN DI TELUK JAKARTA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Benteng adalah sebuah lokasi militer atau bangunan yang didirikan secara khusus, diperkuat dan tertutup yang digunakan untuk melindungi sebuah instalasi, daerah ataupun sepasukan tentara dari serangan atau untuk menguasai suatu daerah. Dalam bahasa Inggris dan Belanda benteng disebut fort. Kata fort sendiri berasal dari bahasa latin fortise yang berarti teguh, kuat, sentausa, atau tahan lama. Berdasarkan pengertian ini, yang dimaksud dengan benteng adalah bangunan yang kokoh dan kuat untuk perlindungan dan pertahanan terhadap serangan musuh.
Novida Abbas mengelompokkan benteng berdasarkan fungsinya dalam dua kelompok. Pertama, benteng yang berfungsi sebagai sarana pertahanan, dalam arti benteng tersebut dapat melaksanakan fungsi ofensif dan defensif. Fungsi tersebut ditunjang oleh fasilitas yang tersedia dalam benteng tersebut, seperti lubang-lubang penembakan, bastion maupun selasar pada dinding keliling benteng dan dinding bastion. Kedua, benteng yang mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan logistik, pendidikan dan latihan serta sebagai penjara. Benteng-benteng yang mempunyai fungsi seperti disebut diatas biasanya tidak diperlengkapi fasilitas ofensif dan defensif. Benteng-benteng tersebut biasanya hanya terdiri dari ruangan-ruangan untuk penyimpanan logistik, pendidikan, latihan serta penjara. Meskipun demikian benteng-benteng tersebut biasanya dilengkapi dengan menara atau bangunan pengawasan.
Bila dilihat dart lokasi penempatannya, benteng yang memiliki fungi ofensif dan defensif biasanya ditempatkan pada lokasi-lokasi strategis seperti di pusat kegiaatan suatu kota, tepi jalur jalan utama, puncak bukit yang memungkinkan pengawasan daerah sekitarnya, tepi pantai atau sungai yang merupakan jalur keluar-masuk pelabuhan maupun kota Sedang benteng yang tidak memiliki fungsi ofensif dan defensif dengan kata lain merupakan benteng penunjang biasanya keletakannya agak tersembunyi atau cukup jauh dari pusat kegiatan suatu kota maupun jalur jalan utama. Contoh benteng penunjang yang terdapat di Indonesia antara lain adalah: Benteng Salatiga, Benteng Willem I di Arnbarawa, dan Benteng Gombong.
Kota Batavia sebagai pusat administrasi, kedudukan VOC, dan juga sebagai pusat koloni Belanda di Hindia Timur sudah pasti memiliki nilai penting, sangatlah wajar bila aset penting tersebut dilindungi dengan baik. Telah diketahui bahwa Kota Batavia dikeliling dengan tembok dan kanal vang diperkuat dengan bastion-bastion, serta terdapat juga sebuah benteng (kesteel) di bagian utara kota.
Letak geografis Kota Batavia yang terletak di teluk dengan pulau-pulau kecil yang tersebar di hadapannya menyebabkan kapal-kapal yang hendak menuju Kota Batavia harus melewati terlebih dahulu gugusan pulau yang terdapat di Teluk Jakarta. Sebagai salah satu jalan masuk menuju Kota Batavia wajar jika Teluk Jakarta juga mempunyai sarana pertahanan.

PAPARAN DATA
Analisis
Teluk Jakarta terletak di sebelah utara Dataran Jakarta, terletak antara 05°54'40" - 06°00'40" Lintang Selatan dan antara 106°40'45" — 107°01'19" Bujur Timur. Secara geografis batas barat Teluk Jakarta adalah Tanjung Pasir dan batas timurnya adalah Tanjung Karawang.
Teluk Jakarta yang terdapat pada bagian utara Dataran Jakarta, dapat dikatakan merupakan "halaman depan" dari Kota Batavia, wajarlah bila pada pulau-pulau karang di Teluk Jakarta terdapat bangunan-bangunan pertahanan. Tercatat terdapat empat buah benteng yang terdapat pada empat buah pulau di Teluk Jakarta, yaitu Pulau Cipir, Kelor, Onrust, dan Pulau Bidadari.
Keempat benteng di pulau-pulau tersebut berbentuk menara, benteng yang terdapat di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor masih dapat dilihat bentuknya, sedang benteng menara di Pulau Cipir hanya tersisa pondasinya saja. Benteng yang terdapat di Pulau Onrust saat ini sudah tidak tersisa lagi. Menarik untuk dicatat bahwa bentuk benteng menara di Indonesia hanya terdapat benteng-benteng di Teluk Jakarta. Benteng menara di Belanda dikenal sebagai Torenfort, istilah ini berkaitan dengan bentuknya yang menyerupai menara (toren) dan fungsinya sebagai bangunan pertahanan (fort). Orang-orang Inggris menyebur Benteng Menara dengan sebutan Martello Tower.
Benteng Menara Pulau Bidadari
Benteng Menara di Pulau Bidadari dibangun sekitar tahun 1850 – 1853. Denah benteng ini berbentuk lingkaran dengan garis tengah 23 m dan tebal dinding 2,6 m, tidak terdapat indikasi adanya parit disekeliling benteng. Terdapat 6 buah ruang, sebuah tempat penampungan air dan sebuah kamar di benteng ini. Diduga dahulu bangunan benteng terdiri dari 2 lantai.
Benteng Menara Pulau Kelor
Benteng Menara Pulau Kelor dibangun sekitar tahun 1850 – 1853. Denah benteng di Pulau Kelor berbentuk lingkaran lingkaran dengan diameter 14 m, tebal dinding 2,5 m dan tingginya 9m. Disekeliling bangunan benteng tidak ditemukan indikasi adanya parit keliling.
Benteng Menara Pulau Cipir
Semasa dengan dibangunnya benteng menara di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor, di Pulau Cipir juga dibangun sebuah benteng menara, benteng tersebut dibangun pada sisi timur pulau. Diameter benteng sekitar 23 m ketebalan dinding 2,6 m, dari sisa-sisa pondasi dapat diduga Benteng Menara ini juga dibagi dalam beberapa ruang tetapi tidak dapat diketahui pasti jumlah dan fungsi ruang-ruang tersebut. Tidak didapat indikasi adanya bak penampungan.
Benteng Pulau Onrust
Bersamaan. dengan dibangunnya Benteng Menara di Pulau Bidadari, Cipir, dan Kelor, di Pulau Onrust juga dibangun sebuah benteng menara, namun bangunan-bangunan di Pulau Onrust ini hancur seluruhnya dalam serangan Inggris tahun 1800, 1810, dan 1816. Saat ini benteng tersebut sudah tidak tersisa lagi.
Benteng-benteng yang terdapat di Teluk Jakarta kesemuanya berbentuk menara (Benteng Menara), untuk mengetahui mengapa bentuk menara yang sebagai bentuk benteng-benteng tersebut terlebih dahulu akan dibahas secara singkat tentang Benteng Menara (Martello Tower).
Tahun 1794 tiga buah kapal perang armada kerajaan Inggris menyerang sebuah benteng berbentuk menara dipertahankan hanya oleh 30 orang tentara Perancis dengan 3 buah meriam. Benteng tersebut terletak di Mortella Point, setelah pertempuran sengit selama 2 hari benteng tersebut akhirnya dapat dikuasai tentara Inggris. Kekuatan benteng menara tersebut segera tersebar luas tetapi terdapat salah pengertian tentang kata Mortella Tower yang berubah menjadi Martello Tower, sejak saat itu benteng yang berbentuk menara disebut Mortello Tower.
Kekuatan benteng berbentuk menara ini menyebabkan bentuk benteng kemudian dipergunakan oleh bangsa Inggris sebagai bentuk benteng-benteng di sepaniang pantai Inggris dan Irlandia (dimulai sekitar tahun 1804/1805) sebagai antisipasi tethadap kemungkinan invasi oleh Napoleon Bonaparte.

KESIMPULAN
Pembangunan benteng-benteng menara di Belanda dilakukan antara tahun 1840 sampai 1860 seiring dengan pembangunan pertahanan Nieuwe Hollandse Waterlinie. Bentuk maupun ukuran dari setiap benteng menara tidak selalu sama, yang selalu sama adalah siluet benteng yang menyerupai tong. Dinding yang tebal dan kuat yang terbuat dart bata merupakan hat yang umum pada Benteng Menara, kadang-kadang benteng tersebut juga diperlengkapi parit keliling. Pada atap benteng biasanya terdapat landasan meriam yang dapat berputar 360°. Dapat dikatakan bahwa Benteng Menara merupakan bentuk bangunan pertahanan yang dikhususkan untuk pertahanan pantai atau daerah yang dekat dengan laut.
Benteng-benteng Menara yang terdapat di Pulau Bidadari, Onrust, Kelor, dan Cipir merupakan bagian sistim pertahanan Teluk Jakarta, juga bila diperhatikan keletakan pulau-pulau serta masing-masing benteng yang terdapat di pulau-pulau tersebut; di Pulau Kelor Benteng Menara terletak pada bagian barat pulau, di Pulau Cipir letak Benteng Menara pada bagian timur agak ke tenggara pulau, di Pulau Bidadati letak Benteng Menara pada bagian timur agak ke timur laut pulau, dan di Pulau Onrust diduga letak Benteng Menara pada bagian barat atau barat laut
Bila diperhatikan keletakan benteng-benteng tersebut tampak penempatan benteng-benteng tersebut berusaha untuk membuat suatu daerah yang dapat dipertahankan dengan baik atau dengan kata aman yaitu perairan yang ada diantara Pulau Bidadari, Kelor, Cipir, dan Onrust. Kemungkinan daerah aman tersebut diperuntukkan sebagai tempat berlindung kapal-kapal Belanda baik kapal dagang maupun kapal perang dari bahaya.
Pemilihan lokasi penempatan Benteng Menara di Teluk Jakarta pada keempat pulau tersebut tampaknya karena jalur laut menuju Kota Batavia yang aman adalah melaui bagian barat Teluk Jakarta, karena bagian timur Teluk Jakarta kondisi dasar lautnya berubah-ubah karena tingginya laju pengendapan, sehingga berbahaya bagi navigasi kapal laut juga karena keempat pulau tersebut membentuk gugusan yang berbentuk segi empat memungkinkan terdapatnya perairan yang terlindung oleh pulau-pulau tersebut pada empat sisinya.

(artikel oleh ageng yudhanto dari berbagai sumber)

PENGARUH MUSIM PADA PENETAPAN SUATU DAERAH SEBAGAI SĪMA AŊŚA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan data prasasti, keberadaan bangunan keagamaan dapat dijabarkan menjadi dua jenis, yaitu: bangunan keagamaan yang berada di dalam wilayah sīma yang bersangkutan dan bangunan keagamaan yang keletakannya berada di luar wilayah sīma atau disebut sebagai sīma aŋśa. Jika dikaitkan dengan keberadaan bangunan keagamaan, istilah aŋśa di dalam Bahasa Jawa Kuna mempunyai arti bagian. Dengan demikian tanah yang dimaksud di dalam prasasti penetapan sīma tersebut merupakan bagian dari bangunan keagamaan yang kelangsungan hidupnya disangga oleh tanah yang ditetapkan sebagai sīma aŋśa. Istilah sīma aŋśa, muncul pada prasasti Kudadu 1216 Ś, sedangkan indikasi mengenai penetapan anugerah tanah sīma berupa sīma aŋśa sudah ada sejak masa-masa sebelumnya.
Pada sīma aŋśa, bangunan keagamaan yang keberadaannya ditunjang oleh sīma tersebut sudah ada hanya saja keberadaannya ada di luar daerah yang dijadikan sīma. Wilayah yang memungkinkan dijadikan sīma aŋśa antara lain merupakan permohonan warganya karena suatu alasan tertentu. Salah satu konsekuensi suatu daerah dijadikan sīma adalah menjaga bangunan keagamaan. Kemungkinan besar, daerah tersebut tidak ada atau belum ada bangunan keagamaan milik kerajaan yang harus dijaga, maka sīma tersebut ditujukan ke tempat lain yang sudah ada bangunan keagamaan yang dimaksud.
Pada saat itulah banyak pejabat tinggi kerajaan yang terlibat dalam penetapan sīma tersebut. Cara yang ditempuh untuk pembebasan suatu daerah dari fungsi semula adalah dengan membeli tanah dari warga atau warga sendiri yang meminta supaya wilayahnya dapat ditetapkan sebagai perdikan karena suatu alasan tertentu. Dari hasil pembelian yang dilakukan oleh pejabat tinggi, kemudian tanah tersebut diubah jenisnya.
Dari hasil pembelian tersebut tidak harus diubah jenisnya tergantung pada keadaan alam yang berada di sekitarnya. Banyak hal yang melatarbelakangi pengubahan jenis tanah tersebut, diantaranya dikaitkan dengan keadaan alam tempat bangunan keagamaan berdiri di luar wilayah sīma yang kelangsungan kegiatan pemujaannya didukung oleh wilayah yang dijadikan sīma aŋśa.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, banyak prasasti yang dikeluarkan oleh raja maupun pejabat tinggi kerajaan berkenaan dengan penetapan suatu wilayah yang dijadikan daerah sīma, salah satunya diawali dengan pembelian sebidang tanah.
Tanah tersebut kemudian diubah jenisnya menjadi sawah maupun tidak dengan tujuan tertentu tergantung pada keadaan alam yang mendukung daerah tersebut. Prasasti-prasasti yang memuat pengubahan jenis tanah dan berhubungan dengan adanya penetapan sīma aŋśa, antara lain adalah: prasasti Humanding 797 Ś, prasasti Jurungan 798 Ś, prasasti Mamali 800 Ś, prasasti Mulak I 800 Ś, prasasti Kwak II 801 Ś, prasasti Taragal 802 Ś, prasasti Ratawun I 803 Ś prasasti Ratawun II 803 S, prasasti Ramwi 804 S, dan prasasti Lintakan 841 Ś.
Dalam upaya penetapan suatu wilayah menjadi daerah sīma untuk bangunan keagamaan, berarti wilayah tersebut merupakan wilayah yang bebas dari pajak penuh yang ditarik oleh pegawai kerajaan. Meskipun demikian, tidak berarti daerah yang ditetapkan sebagai sīma dibebaskan dari tanggungan pembayaran kepada kerajaan tetapi kewajiban tersebut dialihiokasikan bagi kelangsungan hidup bangunan keagamaan milik kerajaan.
Selain memperhatikan keberadaan pejabat-pejabat terkait, di dalam upaya penetapan sīma, terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang diperhatikan berhubungan dengan keadaan tanah dan iklim yang terjadi di wilayah tersebut. Iklim sangat mempengaruhi pertimbangan yang harus diambil sebagai keputusan dalam sarana tanam. Curah hujan di pulau Jawa rata-rata cukup banyak lebih kurang 2000 mm per tahun. Selain itu, faktor tanah merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai media tanam.

PAPARAN DATA
Analisis
Di daerah yang beriklim tropis, sebelum dikenal teknologi pertanian lebih lanjut, kegiatan pertanian sangat bergantung pada perubahan musim. Secara alamiah masyarakat telah dapat mengatur waktu untuk kegiatan menanam, pengolahan tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Seluruhnya telah terjadwal dalam perputaran waktu setahun.
Keadaan iklim yang dipengaruhi oleh angin musim menyebabkan adanya musim kemarau dan penghujan. Panjang-pendek musim-musim itu berbeda menurut Ietak daerahnya di kepulauan Indonesia. Selain itu, panjang pendek musim-musim itu tidak selalu sama setiap tahunnya. Adanya dua musim sebagai gejala tetap dalam musim berpengaruh pada berbagai aspek dalam kehidupan penduduk kepulauan Indonesia misalnya pada pola pertanian, pola pelayaran, dan aspek-aspek lain yang dipengaruhi iklim.
Di lain pihak berdasarkan perputaran musim yang berlaku di Indonesia secara umum dikenal adanya dua musim, yaitu musim kemarau (April-Oktober) dan musim penghujan (Oktober-April). Dengan demikian maka bulan-bulan Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, dan bulan Asuji berada pada saat musim kemarau, sedangkan bulan-bulan Caitra, Karttika, Marghasira, Posya, Magha, dan Phalguna berada pada musim penghujan. Pada upaya penetapan sīma, pihak kerajaan tetap melaksanakan acara tersebut dengan mempertimbangkan musim yang sedang berlangsung.
Berdasarkan pertimbangan musim yang berlangsung, masyarakat pada masa itu juga mempertimbangkan untung dan rugi yang akan mereka tanggung apabila hasil panen yang akan mereka harapkan mengalami kegagalan. Pada penetapan suatu wilayah menjadi sīma aŋśa, pertimbangan yang diambil pada musim penghujan adalah dengan membuka lahan yang lebih luas jika dibandingkan dengan lahan yang dibuka pada musim kemarau (perbandingannya dapat dilihat pada tabel. 1 dan 2). Selain memanfaatkan sarana irigasi tentunya pada musim ini mereka juga dapat memanfaatkan air hujan. Pada saat itu mereka sangat memperhatikan keadaan musim untuk mendukung pertanian mereka, sehingga pada saat itu mereka membuka lahan seluas mungkin untuk dapan memanfaatkan air hujan. Selain penetapan yang dilakukan pada musim penghujan, pejabat kerajaan pada saat itu juga menetapkan pula sīma aŋśa pada musim kemarau, tetapi kisaran luas pada penetapan tersebut tidak seluas pada musim penghujan.
Pada prasasti Humanding dan Lintakan, penetapan yang dilakukan adalah dengan langsung memilih jenis tanah yang berupa sawah sebagai sīma aŋśa, sehingga pada penetapan tersebut tanpa ada pengubahan dari jenis tanah yang satu kejenis tanah yang lain. Di samping itu ada juga kebijakan untuk mengubah suatu jenis tanah apabila suatu daerah ingin ditetapkan menjadi sīma aŋśa (tabel. 3).
Berdasarkan keadaan musim yang sedang berlangsung, bisa saja mereka telah mempertimbangkan keadaan musim saat itu. Hal ini disebabkan karena penetapan sīma aŋśa pada saat itu merupakan hasil permintaan penduduk karena suatu alasan tertentu yang menginginkan daerahnya dapat dijadikan sīma aŋśa. Karena salah satu tujuan daerah sīma harus menunjang kelangsungan hidup bangunan keagamaan. Permohonan penduduk wilayah tersebut dalam mengajukan permohonan dapat dipandang secara mendadak dan lepas dari perhitungan pihak kerajaan. Setelah
melalui berbagai pertimbangan, pihak kerajaan akhirnya menetapkan daerah tersebut
menjadi daerah sima sīma aŋśa.
Sīma aŋśa yang ditetapkan dengan jumlah ukuran tanah yang besar terjadi pada saat musim penghujan, hal ini disebabkan karena pada musim penghujan kebutuhan tanaman air untuk memenuhi syarat pertumbuhan tanaman akan tercukupi. Jika syarat tersebut terpenuhi, tanaman yang ditanam tidak akan mengalami kekeringan dan hasil yang akan dipetik dapat diperkirakan melimpah yang dapat menunjang kebutuhan bangunan keagamaan. Sedangkan pada saat musim kemarau, penetapan sīma aŋśa dilakukan dengan ukuran tanah yang relatif lebih kecil jika dibandingkan pada penetapan sīma aŋśa yang dilakukan pada musim penghujan.
Keadaan semacam ini disebabkan karena mereka juga mempertimbangkan kerugian yang akan ditanggung apabila panen mereka gagal akibat bahaya kekeringan. Apabila tanah yang ditetapkan menjadi sīma aŋśa ukurannya kecil, maka kerugian yang akan ditanggung pun juga akan semakin kecil pula.
Penetapan sīma tersebut, tentunya akan dapat menyangga keberadaan bangunan yang merupakan bangunan keagamaan sedangkan pihak kerajaan belum mempunyai bangunan keagamaan di wilayah tersebut. Salah satu cara untuk memanfaatkan wilayah tersebut adalah dengan memberikan anugerah sīma aŋśa dengan bangunan keagamaan yang berada di luar daerah yang tanahnya dijadikan sīma .

KESIMPULAN
Pertimbangan musim saja pada penetapan sīma ini, tampaknya kurang begitu diperhatikan sebagaimana penetapan sīma yang biasa dilakukan. Pejabat yang berwenang menetapkan sīma tersebut akan mengubah jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain yang hasilnya lebih menguntungkan.
Dengan memperhatikan pertimbangan musim yang sedang berlangsung, serta keletakan bangunan keagamaan yang disangga oleh tanah sīma tersebut, dalam melakukan pengubahan jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Hal ini diperlukan untuk mendukung bangunan keagamaan yang keletakkannya berada di luar wilayah sīma.

(artikel oleh ageng yudhanto dari berbagai sumber)