PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan data prasasti, keberadaan bangunan keagamaan dapat dijabarkan menjadi dua jenis, yaitu: bangunan keagamaan yang berada di dalam wilayah sīma yang bersangkutan dan bangunan keagamaan yang keletakannya berada di luar wilayah sīma atau disebut sebagai sīma aŋśa. Jika dikaitkan dengan keberadaan bangunan keagamaan, istilah aŋśa di dalam Bahasa Jawa Kuna mempunyai arti bagian. Dengan demikian tanah yang dimaksud di dalam prasasti penetapan sīma tersebut merupakan bagian dari bangunan keagamaan yang kelangsungan hidupnya disangga oleh tanah yang ditetapkan sebagai sīma aŋśa. Istilah sīma aŋśa, muncul pada prasasti Kudadu 1216 Ś, sedangkan indikasi mengenai penetapan anugerah tanah sīma berupa sīma aŋśa sudah ada sejak masa-masa sebelumnya.
Pada sīma aŋśa, bangunan keagamaan yang keberadaannya ditunjang oleh sīma tersebut sudah ada hanya saja keberadaannya ada di luar daerah yang dijadikan sīma. Wilayah yang memungkinkan dijadikan sīma aŋśa antara lain merupakan permohonan warganya karena suatu alasan tertentu. Salah satu konsekuensi suatu daerah dijadikan sīma adalah menjaga bangunan keagamaan. Kemungkinan besar, daerah tersebut tidak ada atau belum ada bangunan keagamaan milik kerajaan yang harus dijaga, maka sīma tersebut ditujukan ke tempat lain yang sudah ada bangunan keagamaan yang dimaksud.
Pada saat itulah banyak pejabat tinggi kerajaan yang terlibat dalam penetapan sīma tersebut. Cara yang ditempuh untuk pembebasan suatu daerah dari fungsi semula adalah dengan membeli tanah dari warga atau warga sendiri yang meminta supaya wilayahnya dapat ditetapkan sebagai perdikan karena suatu alasan tertentu. Dari hasil pembelian yang dilakukan oleh pejabat tinggi, kemudian tanah tersebut diubah jenisnya.
Dari hasil pembelian tersebut tidak harus diubah jenisnya tergantung pada keadaan alam yang berada di sekitarnya. Banyak hal yang melatarbelakangi pengubahan jenis tanah tersebut, diantaranya dikaitkan dengan keadaan alam tempat bangunan keagamaan berdiri di luar wilayah sīma yang kelangsungan kegiatan pemujaannya didukung oleh wilayah yang dijadikan sīma aŋśa.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, banyak prasasti yang dikeluarkan oleh raja maupun pejabat tinggi kerajaan berkenaan dengan penetapan suatu wilayah yang dijadikan daerah sīma, salah satunya diawali dengan pembelian sebidang tanah.
Tanah tersebut kemudian diubah jenisnya menjadi sawah maupun tidak dengan tujuan tertentu tergantung pada keadaan alam yang mendukung daerah tersebut. Prasasti-prasasti yang memuat pengubahan jenis tanah dan berhubungan dengan adanya penetapan sīma aŋśa, antara lain adalah: prasasti Humanding 797 Ś, prasasti Jurungan 798 Ś, prasasti Mamali 800 Ś, prasasti Mulak I 800 Ś, prasasti Kwak II 801 Ś, prasasti Taragal 802 Ś, prasasti Ratawun I 803 Ś prasasti Ratawun II 803 S, prasasti Ramwi 804 S, dan prasasti Lintakan 841 Ś.
Dalam upaya penetapan suatu wilayah menjadi daerah sīma untuk bangunan keagamaan, berarti wilayah tersebut merupakan wilayah yang bebas dari pajak penuh yang ditarik oleh pegawai kerajaan. Meskipun demikian, tidak berarti daerah yang ditetapkan sebagai sīma dibebaskan dari tanggungan pembayaran kepada kerajaan tetapi kewajiban tersebut dialihiokasikan bagi kelangsungan hidup bangunan keagamaan milik kerajaan.
Selain memperhatikan keberadaan pejabat-pejabat terkait, di dalam upaya penetapan sīma, terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang diperhatikan berhubungan dengan keadaan tanah dan iklim yang terjadi di wilayah tersebut. Iklim sangat mempengaruhi pertimbangan yang harus diambil sebagai keputusan dalam sarana tanam. Curah hujan di pulau Jawa rata-rata cukup banyak lebih kurang 2000 mm per tahun. Selain itu, faktor tanah merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai media tanam.
PAPARAN DATA
Analisis
Di daerah yang beriklim tropis, sebelum dikenal teknologi pertanian lebih lanjut, kegiatan pertanian sangat bergantung pada perubahan musim. Secara alamiah masyarakat telah dapat mengatur waktu untuk kegiatan menanam, pengolahan tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Seluruhnya telah terjadwal dalam perputaran waktu setahun.
Keadaan iklim yang dipengaruhi oleh angin musim menyebabkan adanya musim kemarau dan penghujan. Panjang-pendek musim-musim itu berbeda menurut Ietak daerahnya di kepulauan Indonesia. Selain itu, panjang pendek musim-musim itu tidak selalu sama setiap tahunnya. Adanya dua musim sebagai gejala tetap dalam musim berpengaruh pada berbagai aspek dalam kehidupan penduduk kepulauan Indonesia misalnya pada pola pertanian, pola pelayaran, dan aspek-aspek lain yang dipengaruhi iklim.
Di lain pihak berdasarkan perputaran musim yang berlaku di Indonesia secara umum dikenal adanya dua musim, yaitu musim kemarau (April-Oktober) dan musim penghujan (Oktober-April). Dengan demikian maka bulan-bulan Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, dan bulan Asuji berada pada saat musim kemarau, sedangkan bulan-bulan Caitra, Karttika, Marghasira, Posya, Magha, dan Phalguna berada pada musim penghujan. Pada upaya penetapan sīma, pihak kerajaan tetap melaksanakan acara tersebut dengan mempertimbangkan musim yang sedang berlangsung.
Berdasarkan pertimbangan musim yang berlangsung, masyarakat pada masa itu juga mempertimbangkan untung dan rugi yang akan mereka tanggung apabila hasil panen yang akan mereka harapkan mengalami kegagalan. Pada penetapan suatu wilayah menjadi sīma aŋśa, pertimbangan yang diambil pada musim penghujan adalah dengan membuka lahan yang lebih luas jika dibandingkan dengan lahan yang dibuka pada musim kemarau (perbandingannya dapat dilihat pada tabel. 1 dan 2). Selain memanfaatkan sarana irigasi tentunya pada musim ini mereka juga dapat memanfaatkan air hujan. Pada saat itu mereka sangat memperhatikan keadaan musim untuk mendukung pertanian mereka, sehingga pada saat itu mereka membuka lahan seluas mungkin untuk dapan memanfaatkan air hujan. Selain penetapan yang dilakukan pada musim penghujan, pejabat kerajaan pada saat itu juga menetapkan pula sīma aŋśa pada musim kemarau, tetapi kisaran luas pada penetapan tersebut tidak seluas pada musim penghujan.
Pada prasasti Humanding dan Lintakan, penetapan yang dilakukan adalah dengan langsung memilih jenis tanah yang berupa sawah sebagai sīma aŋśa, sehingga pada penetapan tersebut tanpa ada pengubahan dari jenis tanah yang satu kejenis tanah yang lain. Di samping itu ada juga kebijakan untuk mengubah suatu jenis tanah apabila suatu daerah ingin ditetapkan menjadi sīma aŋśa (tabel. 3).
Berdasarkan keadaan musim yang sedang berlangsung, bisa saja mereka telah mempertimbangkan keadaan musim saat itu. Hal ini disebabkan karena penetapan sīma aŋśa pada saat itu merupakan hasil permintaan penduduk karena suatu alasan tertentu yang menginginkan daerahnya dapat dijadikan sīma aŋśa. Karena salah satu tujuan daerah sīma harus menunjang kelangsungan hidup bangunan keagamaan. Permohonan penduduk wilayah tersebut dalam mengajukan permohonan dapat dipandang secara mendadak dan lepas dari perhitungan pihak kerajaan. Setelah
melalui berbagai pertimbangan, pihak kerajaan akhirnya menetapkan daerah tersebut
menjadi daerah sima sīma aŋśa.
Sīma aŋśa yang ditetapkan dengan jumlah ukuran tanah yang besar terjadi pada saat musim penghujan, hal ini disebabkan karena pada musim penghujan kebutuhan tanaman air untuk memenuhi syarat pertumbuhan tanaman akan tercukupi. Jika syarat tersebut terpenuhi, tanaman yang ditanam tidak akan mengalami kekeringan dan hasil yang akan dipetik dapat diperkirakan melimpah yang dapat menunjang kebutuhan bangunan keagamaan. Sedangkan pada saat musim kemarau, penetapan sīma aŋśa dilakukan dengan ukuran tanah yang relatif lebih kecil jika dibandingkan pada penetapan sīma aŋśa yang dilakukan pada musim penghujan.
Keadaan semacam ini disebabkan karena mereka juga mempertimbangkan kerugian yang akan ditanggung apabila panen mereka gagal akibat bahaya kekeringan. Apabila tanah yang ditetapkan menjadi sīma aŋśa ukurannya kecil, maka kerugian yang akan ditanggung pun juga akan semakin kecil pula.
Penetapan sīma tersebut, tentunya akan dapat menyangga keberadaan bangunan yang merupakan bangunan keagamaan sedangkan pihak kerajaan belum mempunyai bangunan keagamaan di wilayah tersebut. Salah satu cara untuk memanfaatkan wilayah tersebut adalah dengan memberikan anugerah sīma aŋśa dengan bangunan keagamaan yang berada di luar daerah yang tanahnya dijadikan sīma .
KESIMPULAN
Pertimbangan musim saja pada penetapan sīma ini, tampaknya kurang begitu diperhatikan sebagaimana penetapan sīma yang biasa dilakukan. Pejabat yang berwenang menetapkan sīma tersebut akan mengubah jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain yang hasilnya lebih menguntungkan.
Dengan memperhatikan pertimbangan musim yang sedang berlangsung, serta keletakan bangunan keagamaan yang disangga oleh tanah sīma tersebut, dalam melakukan pengubahan jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Hal ini diperlukan untuk mendukung bangunan keagamaan yang keletakkannya berada di luar wilayah sīma.
(artikel oleh ageng yudhanto dari berbagai sumber)
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan data prasasti, keberadaan bangunan keagamaan dapat dijabarkan menjadi dua jenis, yaitu: bangunan keagamaan yang berada di dalam wilayah sīma yang bersangkutan dan bangunan keagamaan yang keletakannya berada di luar wilayah sīma atau disebut sebagai sīma aŋśa. Jika dikaitkan dengan keberadaan bangunan keagamaan, istilah aŋśa di dalam Bahasa Jawa Kuna mempunyai arti bagian. Dengan demikian tanah yang dimaksud di dalam prasasti penetapan sīma tersebut merupakan bagian dari bangunan keagamaan yang kelangsungan hidupnya disangga oleh tanah yang ditetapkan sebagai sīma aŋśa. Istilah sīma aŋśa, muncul pada prasasti Kudadu 1216 Ś, sedangkan indikasi mengenai penetapan anugerah tanah sīma berupa sīma aŋśa sudah ada sejak masa-masa sebelumnya.
Pada sīma aŋśa, bangunan keagamaan yang keberadaannya ditunjang oleh sīma tersebut sudah ada hanya saja keberadaannya ada di luar daerah yang dijadikan sīma. Wilayah yang memungkinkan dijadikan sīma aŋśa antara lain merupakan permohonan warganya karena suatu alasan tertentu. Salah satu konsekuensi suatu daerah dijadikan sīma adalah menjaga bangunan keagamaan. Kemungkinan besar, daerah tersebut tidak ada atau belum ada bangunan keagamaan milik kerajaan yang harus dijaga, maka sīma tersebut ditujukan ke tempat lain yang sudah ada bangunan keagamaan yang dimaksud.
Pada saat itulah banyak pejabat tinggi kerajaan yang terlibat dalam penetapan sīma tersebut. Cara yang ditempuh untuk pembebasan suatu daerah dari fungsi semula adalah dengan membeli tanah dari warga atau warga sendiri yang meminta supaya wilayahnya dapat ditetapkan sebagai perdikan karena suatu alasan tertentu. Dari hasil pembelian yang dilakukan oleh pejabat tinggi, kemudian tanah tersebut diubah jenisnya.
Dari hasil pembelian tersebut tidak harus diubah jenisnya tergantung pada keadaan alam yang berada di sekitarnya. Banyak hal yang melatarbelakangi pengubahan jenis tanah tersebut, diantaranya dikaitkan dengan keadaan alam tempat bangunan keagamaan berdiri di luar wilayah sīma yang kelangsungan kegiatan pemujaannya didukung oleh wilayah yang dijadikan sīma aŋśa.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, banyak prasasti yang dikeluarkan oleh raja maupun pejabat tinggi kerajaan berkenaan dengan penetapan suatu wilayah yang dijadikan daerah sīma, salah satunya diawali dengan pembelian sebidang tanah.
Tanah tersebut kemudian diubah jenisnya menjadi sawah maupun tidak dengan tujuan tertentu tergantung pada keadaan alam yang mendukung daerah tersebut. Prasasti-prasasti yang memuat pengubahan jenis tanah dan berhubungan dengan adanya penetapan sīma aŋśa, antara lain adalah: prasasti Humanding 797 Ś, prasasti Jurungan 798 Ś, prasasti Mamali 800 Ś, prasasti Mulak I 800 Ś, prasasti Kwak II 801 Ś, prasasti Taragal 802 Ś, prasasti Ratawun I 803 Ś prasasti Ratawun II 803 S, prasasti Ramwi 804 S, dan prasasti Lintakan 841 Ś.
Dalam upaya penetapan suatu wilayah menjadi daerah sīma untuk bangunan keagamaan, berarti wilayah tersebut merupakan wilayah yang bebas dari pajak penuh yang ditarik oleh pegawai kerajaan. Meskipun demikian, tidak berarti daerah yang ditetapkan sebagai sīma dibebaskan dari tanggungan pembayaran kepada kerajaan tetapi kewajiban tersebut dialihiokasikan bagi kelangsungan hidup bangunan keagamaan milik kerajaan.
Selain memperhatikan keberadaan pejabat-pejabat terkait, di dalam upaya penetapan sīma, terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang diperhatikan berhubungan dengan keadaan tanah dan iklim yang terjadi di wilayah tersebut. Iklim sangat mempengaruhi pertimbangan yang harus diambil sebagai keputusan dalam sarana tanam. Curah hujan di pulau Jawa rata-rata cukup banyak lebih kurang 2000 mm per tahun. Selain itu, faktor tanah merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai media tanam.
PAPARAN DATA
Analisis
Di daerah yang beriklim tropis, sebelum dikenal teknologi pertanian lebih lanjut, kegiatan pertanian sangat bergantung pada perubahan musim. Secara alamiah masyarakat telah dapat mengatur waktu untuk kegiatan menanam, pengolahan tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Seluruhnya telah terjadwal dalam perputaran waktu setahun.
Keadaan iklim yang dipengaruhi oleh angin musim menyebabkan adanya musim kemarau dan penghujan. Panjang-pendek musim-musim itu berbeda menurut Ietak daerahnya di kepulauan Indonesia. Selain itu, panjang pendek musim-musim itu tidak selalu sama setiap tahunnya. Adanya dua musim sebagai gejala tetap dalam musim berpengaruh pada berbagai aspek dalam kehidupan penduduk kepulauan Indonesia misalnya pada pola pertanian, pola pelayaran, dan aspek-aspek lain yang dipengaruhi iklim.
Di lain pihak berdasarkan perputaran musim yang berlaku di Indonesia secara umum dikenal adanya dua musim, yaitu musim kemarau (April-Oktober) dan musim penghujan (Oktober-April). Dengan demikian maka bulan-bulan Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, dan bulan Asuji berada pada saat musim kemarau, sedangkan bulan-bulan Caitra, Karttika, Marghasira, Posya, Magha, dan Phalguna berada pada musim penghujan. Pada upaya penetapan sīma, pihak kerajaan tetap melaksanakan acara tersebut dengan mempertimbangkan musim yang sedang berlangsung.
Berdasarkan pertimbangan musim yang berlangsung, masyarakat pada masa itu juga mempertimbangkan untung dan rugi yang akan mereka tanggung apabila hasil panen yang akan mereka harapkan mengalami kegagalan. Pada penetapan suatu wilayah menjadi sīma aŋśa, pertimbangan yang diambil pada musim penghujan adalah dengan membuka lahan yang lebih luas jika dibandingkan dengan lahan yang dibuka pada musim kemarau (perbandingannya dapat dilihat pada tabel. 1 dan 2). Selain memanfaatkan sarana irigasi tentunya pada musim ini mereka juga dapat memanfaatkan air hujan. Pada saat itu mereka sangat memperhatikan keadaan musim untuk mendukung pertanian mereka, sehingga pada saat itu mereka membuka lahan seluas mungkin untuk dapan memanfaatkan air hujan. Selain penetapan yang dilakukan pada musim penghujan, pejabat kerajaan pada saat itu juga menetapkan pula sīma aŋśa pada musim kemarau, tetapi kisaran luas pada penetapan tersebut tidak seluas pada musim penghujan.
Pada prasasti Humanding dan Lintakan, penetapan yang dilakukan adalah dengan langsung memilih jenis tanah yang berupa sawah sebagai sīma aŋśa, sehingga pada penetapan tersebut tanpa ada pengubahan dari jenis tanah yang satu kejenis tanah yang lain. Di samping itu ada juga kebijakan untuk mengubah suatu jenis tanah apabila suatu daerah ingin ditetapkan menjadi sīma aŋśa (tabel. 3).
Berdasarkan keadaan musim yang sedang berlangsung, bisa saja mereka telah mempertimbangkan keadaan musim saat itu. Hal ini disebabkan karena penetapan sīma aŋśa pada saat itu merupakan hasil permintaan penduduk karena suatu alasan tertentu yang menginginkan daerahnya dapat dijadikan sīma aŋśa. Karena salah satu tujuan daerah sīma harus menunjang kelangsungan hidup bangunan keagamaan. Permohonan penduduk wilayah tersebut dalam mengajukan permohonan dapat dipandang secara mendadak dan lepas dari perhitungan pihak kerajaan. Setelah
melalui berbagai pertimbangan, pihak kerajaan akhirnya menetapkan daerah tersebut
menjadi daerah sima sīma aŋśa.
Sīma aŋśa yang ditetapkan dengan jumlah ukuran tanah yang besar terjadi pada saat musim penghujan, hal ini disebabkan karena pada musim penghujan kebutuhan tanaman air untuk memenuhi syarat pertumbuhan tanaman akan tercukupi. Jika syarat tersebut terpenuhi, tanaman yang ditanam tidak akan mengalami kekeringan dan hasil yang akan dipetik dapat diperkirakan melimpah yang dapat menunjang kebutuhan bangunan keagamaan. Sedangkan pada saat musim kemarau, penetapan sīma aŋśa dilakukan dengan ukuran tanah yang relatif lebih kecil jika dibandingkan pada penetapan sīma aŋśa yang dilakukan pada musim penghujan.
Keadaan semacam ini disebabkan karena mereka juga mempertimbangkan kerugian yang akan ditanggung apabila panen mereka gagal akibat bahaya kekeringan. Apabila tanah yang ditetapkan menjadi sīma aŋśa ukurannya kecil, maka kerugian yang akan ditanggung pun juga akan semakin kecil pula.
Penetapan sīma tersebut, tentunya akan dapat menyangga keberadaan bangunan yang merupakan bangunan keagamaan sedangkan pihak kerajaan belum mempunyai bangunan keagamaan di wilayah tersebut. Salah satu cara untuk memanfaatkan wilayah tersebut adalah dengan memberikan anugerah sīma aŋśa dengan bangunan keagamaan yang berada di luar daerah yang tanahnya dijadikan sīma .
KESIMPULAN
Pertimbangan musim saja pada penetapan sīma ini, tampaknya kurang begitu diperhatikan sebagaimana penetapan sīma yang biasa dilakukan. Pejabat yang berwenang menetapkan sīma tersebut akan mengubah jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain yang hasilnya lebih menguntungkan.
Dengan memperhatikan pertimbangan musim yang sedang berlangsung, serta keletakan bangunan keagamaan yang disangga oleh tanah sīma tersebut, dalam melakukan pengubahan jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Hal ini diperlukan untuk mendukung bangunan keagamaan yang keletakkannya berada di luar wilayah sīma.
(artikel oleh ageng yudhanto dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment