Saturday, October 18, 2008

Nisan-Nisan di Tralaya

Tralaya merupakan suatu situs berupa makam-makam Islam kuno yang terletak di wilayah Kelurahan Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Menurut cerita rakyat yang dikumpulkan oleh J. Knebel, Tralaya merupakan tempat peristirahatan bagi kaum saudagar muslim dalam rangka menyebarkan luaskan agama Islam kepada Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan Tralaya tersebut lalu dibuatlah petilasan untuk menandai peristiwa itu. Menurut Poerwodarminta, tralaya berasal dari kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal atau tanah lapang tempat pembuangan bangkai (mayat), sedangkan Pralaya berarti rusak atau mati atau kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai Ralaya.

Peninggalan yang ada di Tralaya adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit. Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Tralaya meliputi kurun waktu antara 1368–1611 M. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam Tralaya, yaitu Zainudin (874 H). Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari kepercayaan masyarakat.

Makam-makam kuno di Tralaya tidak berada dalam satu kelompok dengan tata letak yang jelas dan teratur, melainkan tersebar di wilayah seluas kira-kira 2 hektar. Sebagian kecil makam ada yang dikelilingi pagar batu atau cungkup. Selain itu sebagian berupa makam-makam yang soliter, berpencar, atau terbuka. Berdasarkan lokasi makam-makam tersebut dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Kelompok Makam Sembilan, yang terdiri dari sembilan makam dengan nisan tipe Tralaya (Hasan Muarif Ambary, 1984: 353-354) yang berukuran besar.
  2. Kelompok makam di selatan Makam Sembilan, terdiri dari beberapa makam soliter. Ada yang diberi pagar keliling maupun tanpa pagar.
  3. Kelompok makam bercungkup. Di situs yang diberi pagar keliling terdapat empat makam dalam dua cungkup, serta sejumlah makam lain tersebar di luar cungkup.
  4. Kelompok makam dan nisan di halaman masjid, satu diantaranya ada di dalam cungkup.
  5. Kelompok makam Tujuh.
  6. Kelompok makam umum di selatan dan timur Makam Tujuh. Di sisi tersebar beberapa makam kuno, tiga diantaranya memuat prasasti.
  7. kelompok makam di selatan makam umu. Di ladang sebelah selatan makam umum terdapat enam mkam kuno dengan lokasi yang tersebar.

Di situs Tralaya terdapat juga balok-balok batu yang memuat angka tahun dengan huruf Jawa Kuno di salah satu sisinya. Namun hal tersebut masih dipertanyakan fungsinya sebagai nisan kubur karena bentuknya lebih dekat pada batu-batu candi, tetapi ada beberapa balok batu berprasasti yang digunakan sebagai batu nisan pada makam tokoh legenda di wilayah Tralaya. Sesuai dengan bentuknya nisan-nisan Tralaya dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu :
  1. Berbentuk lengkung kala-makara atau kala-mrga.
  2. Berbentuk segi empat berujung akolade dan berpangkal semacam antefiks.
  3. Berbentuk segi empat dengan tonjolan di atas.
  4. Bertingkat.

Walaupun diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, namun bagian pasaknya sama bentuknya, yaitu segi empat lurus dari kaki nisan. Hal ini berbeda dengan nisan-nisan kuno lain yang pasaknya biasanya lebih kecil dari pada ukuran kaki nisan.

Nisan-nisan di Tralaya memiliki motif hias yang beragam jenisnya, namun semuanya bergaya Jawa Kuno. Motif hias yang dipakai antara lain :
  1. Surya Majapahit yang didalamnya terdapat berbagai ragam hias, misalnya flora, kropak diikat pita (Damais, 1957:400) dengan motif pinggir awan, flora.
  2. Flora berupa sulur-suluran, bunga.
  3. Geometris berupa tumpal, segi enam, pinggir awan.

Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono., dkk. 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai. Surabaya: CV. Tiga Dara. 1993.
( www.majapahit-kingdom.com )
Diakses pada tgl 12 Desember 2007 pukul 13.30

Monday, February 25, 2008

BENTENG MENARA SEBAGAI SARANA PERTAHANAN DI TELUK JAKARTA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Benteng adalah sebuah lokasi militer atau bangunan yang didirikan secara khusus, diperkuat dan tertutup yang digunakan untuk melindungi sebuah instalasi, daerah ataupun sepasukan tentara dari serangan atau untuk menguasai suatu daerah. Dalam bahasa Inggris dan Belanda benteng disebut fort. Kata fort sendiri berasal dari bahasa latin fortise yang berarti teguh, kuat, sentausa, atau tahan lama. Berdasarkan pengertian ini, yang dimaksud dengan benteng adalah bangunan yang kokoh dan kuat untuk perlindungan dan pertahanan terhadap serangan musuh.
Novida Abbas mengelompokkan benteng berdasarkan fungsinya dalam dua kelompok. Pertama, benteng yang berfungsi sebagai sarana pertahanan, dalam arti benteng tersebut dapat melaksanakan fungsi ofensif dan defensif. Fungsi tersebut ditunjang oleh fasilitas yang tersedia dalam benteng tersebut, seperti lubang-lubang penembakan, bastion maupun selasar pada dinding keliling benteng dan dinding bastion. Kedua, benteng yang mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan logistik, pendidikan dan latihan serta sebagai penjara. Benteng-benteng yang mempunyai fungsi seperti disebut diatas biasanya tidak diperlengkapi fasilitas ofensif dan defensif. Benteng-benteng tersebut biasanya hanya terdiri dari ruangan-ruangan untuk penyimpanan logistik, pendidikan, latihan serta penjara. Meskipun demikian benteng-benteng tersebut biasanya dilengkapi dengan menara atau bangunan pengawasan.
Bila dilihat dart lokasi penempatannya, benteng yang memiliki fungi ofensif dan defensif biasanya ditempatkan pada lokasi-lokasi strategis seperti di pusat kegiaatan suatu kota, tepi jalur jalan utama, puncak bukit yang memungkinkan pengawasan daerah sekitarnya, tepi pantai atau sungai yang merupakan jalur keluar-masuk pelabuhan maupun kota Sedang benteng yang tidak memiliki fungsi ofensif dan defensif dengan kata lain merupakan benteng penunjang biasanya keletakannya agak tersembunyi atau cukup jauh dari pusat kegiatan suatu kota maupun jalur jalan utama. Contoh benteng penunjang yang terdapat di Indonesia antara lain adalah: Benteng Salatiga, Benteng Willem I di Arnbarawa, dan Benteng Gombong.
Kota Batavia sebagai pusat administrasi, kedudukan VOC, dan juga sebagai pusat koloni Belanda di Hindia Timur sudah pasti memiliki nilai penting, sangatlah wajar bila aset penting tersebut dilindungi dengan baik. Telah diketahui bahwa Kota Batavia dikeliling dengan tembok dan kanal vang diperkuat dengan bastion-bastion, serta terdapat juga sebuah benteng (kesteel) di bagian utara kota.
Letak geografis Kota Batavia yang terletak di teluk dengan pulau-pulau kecil yang tersebar di hadapannya menyebabkan kapal-kapal yang hendak menuju Kota Batavia harus melewati terlebih dahulu gugusan pulau yang terdapat di Teluk Jakarta. Sebagai salah satu jalan masuk menuju Kota Batavia wajar jika Teluk Jakarta juga mempunyai sarana pertahanan.

PAPARAN DATA
Analisis
Teluk Jakarta terletak di sebelah utara Dataran Jakarta, terletak antara 05°54'40" - 06°00'40" Lintang Selatan dan antara 106°40'45" — 107°01'19" Bujur Timur. Secara geografis batas barat Teluk Jakarta adalah Tanjung Pasir dan batas timurnya adalah Tanjung Karawang.
Teluk Jakarta yang terdapat pada bagian utara Dataran Jakarta, dapat dikatakan merupakan "halaman depan" dari Kota Batavia, wajarlah bila pada pulau-pulau karang di Teluk Jakarta terdapat bangunan-bangunan pertahanan. Tercatat terdapat empat buah benteng yang terdapat pada empat buah pulau di Teluk Jakarta, yaitu Pulau Cipir, Kelor, Onrust, dan Pulau Bidadari.
Keempat benteng di pulau-pulau tersebut berbentuk menara, benteng yang terdapat di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor masih dapat dilihat bentuknya, sedang benteng menara di Pulau Cipir hanya tersisa pondasinya saja. Benteng yang terdapat di Pulau Onrust saat ini sudah tidak tersisa lagi. Menarik untuk dicatat bahwa bentuk benteng menara di Indonesia hanya terdapat benteng-benteng di Teluk Jakarta. Benteng menara di Belanda dikenal sebagai Torenfort, istilah ini berkaitan dengan bentuknya yang menyerupai menara (toren) dan fungsinya sebagai bangunan pertahanan (fort). Orang-orang Inggris menyebur Benteng Menara dengan sebutan Martello Tower.
Benteng Menara Pulau Bidadari
Benteng Menara di Pulau Bidadari dibangun sekitar tahun 1850 – 1853. Denah benteng ini berbentuk lingkaran dengan garis tengah 23 m dan tebal dinding 2,6 m, tidak terdapat indikasi adanya parit disekeliling benteng. Terdapat 6 buah ruang, sebuah tempat penampungan air dan sebuah kamar di benteng ini. Diduga dahulu bangunan benteng terdiri dari 2 lantai.
Benteng Menara Pulau Kelor
Benteng Menara Pulau Kelor dibangun sekitar tahun 1850 – 1853. Denah benteng di Pulau Kelor berbentuk lingkaran lingkaran dengan diameter 14 m, tebal dinding 2,5 m dan tingginya 9m. Disekeliling bangunan benteng tidak ditemukan indikasi adanya parit keliling.
Benteng Menara Pulau Cipir
Semasa dengan dibangunnya benteng menara di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor, di Pulau Cipir juga dibangun sebuah benteng menara, benteng tersebut dibangun pada sisi timur pulau. Diameter benteng sekitar 23 m ketebalan dinding 2,6 m, dari sisa-sisa pondasi dapat diduga Benteng Menara ini juga dibagi dalam beberapa ruang tetapi tidak dapat diketahui pasti jumlah dan fungsi ruang-ruang tersebut. Tidak didapat indikasi adanya bak penampungan.
Benteng Pulau Onrust
Bersamaan. dengan dibangunnya Benteng Menara di Pulau Bidadari, Cipir, dan Kelor, di Pulau Onrust juga dibangun sebuah benteng menara, namun bangunan-bangunan di Pulau Onrust ini hancur seluruhnya dalam serangan Inggris tahun 1800, 1810, dan 1816. Saat ini benteng tersebut sudah tidak tersisa lagi.
Benteng-benteng yang terdapat di Teluk Jakarta kesemuanya berbentuk menara (Benteng Menara), untuk mengetahui mengapa bentuk menara yang sebagai bentuk benteng-benteng tersebut terlebih dahulu akan dibahas secara singkat tentang Benteng Menara (Martello Tower).
Tahun 1794 tiga buah kapal perang armada kerajaan Inggris menyerang sebuah benteng berbentuk menara dipertahankan hanya oleh 30 orang tentara Perancis dengan 3 buah meriam. Benteng tersebut terletak di Mortella Point, setelah pertempuran sengit selama 2 hari benteng tersebut akhirnya dapat dikuasai tentara Inggris. Kekuatan benteng menara tersebut segera tersebar luas tetapi terdapat salah pengertian tentang kata Mortella Tower yang berubah menjadi Martello Tower, sejak saat itu benteng yang berbentuk menara disebut Mortello Tower.
Kekuatan benteng berbentuk menara ini menyebabkan bentuk benteng kemudian dipergunakan oleh bangsa Inggris sebagai bentuk benteng-benteng di sepaniang pantai Inggris dan Irlandia (dimulai sekitar tahun 1804/1805) sebagai antisipasi tethadap kemungkinan invasi oleh Napoleon Bonaparte.

KESIMPULAN
Pembangunan benteng-benteng menara di Belanda dilakukan antara tahun 1840 sampai 1860 seiring dengan pembangunan pertahanan Nieuwe Hollandse Waterlinie. Bentuk maupun ukuran dari setiap benteng menara tidak selalu sama, yang selalu sama adalah siluet benteng yang menyerupai tong. Dinding yang tebal dan kuat yang terbuat dart bata merupakan hat yang umum pada Benteng Menara, kadang-kadang benteng tersebut juga diperlengkapi parit keliling. Pada atap benteng biasanya terdapat landasan meriam yang dapat berputar 360°. Dapat dikatakan bahwa Benteng Menara merupakan bentuk bangunan pertahanan yang dikhususkan untuk pertahanan pantai atau daerah yang dekat dengan laut.
Benteng-benteng Menara yang terdapat di Pulau Bidadari, Onrust, Kelor, dan Cipir merupakan bagian sistim pertahanan Teluk Jakarta, juga bila diperhatikan keletakan pulau-pulau serta masing-masing benteng yang terdapat di pulau-pulau tersebut; di Pulau Kelor Benteng Menara terletak pada bagian barat pulau, di Pulau Cipir letak Benteng Menara pada bagian timur agak ke tenggara pulau, di Pulau Bidadati letak Benteng Menara pada bagian timur agak ke timur laut pulau, dan di Pulau Onrust diduga letak Benteng Menara pada bagian barat atau barat laut
Bila diperhatikan keletakan benteng-benteng tersebut tampak penempatan benteng-benteng tersebut berusaha untuk membuat suatu daerah yang dapat dipertahankan dengan baik atau dengan kata aman yaitu perairan yang ada diantara Pulau Bidadari, Kelor, Cipir, dan Onrust. Kemungkinan daerah aman tersebut diperuntukkan sebagai tempat berlindung kapal-kapal Belanda baik kapal dagang maupun kapal perang dari bahaya.
Pemilihan lokasi penempatan Benteng Menara di Teluk Jakarta pada keempat pulau tersebut tampaknya karena jalur laut menuju Kota Batavia yang aman adalah melaui bagian barat Teluk Jakarta, karena bagian timur Teluk Jakarta kondisi dasar lautnya berubah-ubah karena tingginya laju pengendapan, sehingga berbahaya bagi navigasi kapal laut juga karena keempat pulau tersebut membentuk gugusan yang berbentuk segi empat memungkinkan terdapatnya perairan yang terlindung oleh pulau-pulau tersebut pada empat sisinya.

(artikel oleh ageng yudhanto dari berbagai sumber)

PENGARUH MUSIM PADA PENETAPAN SUATU DAERAH SEBAGAI SĪMA AŊŚA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan data prasasti, keberadaan bangunan keagamaan dapat dijabarkan menjadi dua jenis, yaitu: bangunan keagamaan yang berada di dalam wilayah sīma yang bersangkutan dan bangunan keagamaan yang keletakannya berada di luar wilayah sīma atau disebut sebagai sīma aŋśa. Jika dikaitkan dengan keberadaan bangunan keagamaan, istilah aŋśa di dalam Bahasa Jawa Kuna mempunyai arti bagian. Dengan demikian tanah yang dimaksud di dalam prasasti penetapan sīma tersebut merupakan bagian dari bangunan keagamaan yang kelangsungan hidupnya disangga oleh tanah yang ditetapkan sebagai sīma aŋśa. Istilah sīma aŋśa, muncul pada prasasti Kudadu 1216 Ś, sedangkan indikasi mengenai penetapan anugerah tanah sīma berupa sīma aŋśa sudah ada sejak masa-masa sebelumnya.
Pada sīma aŋśa, bangunan keagamaan yang keberadaannya ditunjang oleh sīma tersebut sudah ada hanya saja keberadaannya ada di luar daerah yang dijadikan sīma. Wilayah yang memungkinkan dijadikan sīma aŋśa antara lain merupakan permohonan warganya karena suatu alasan tertentu. Salah satu konsekuensi suatu daerah dijadikan sīma adalah menjaga bangunan keagamaan. Kemungkinan besar, daerah tersebut tidak ada atau belum ada bangunan keagamaan milik kerajaan yang harus dijaga, maka sīma tersebut ditujukan ke tempat lain yang sudah ada bangunan keagamaan yang dimaksud.
Pada saat itulah banyak pejabat tinggi kerajaan yang terlibat dalam penetapan sīma tersebut. Cara yang ditempuh untuk pembebasan suatu daerah dari fungsi semula adalah dengan membeli tanah dari warga atau warga sendiri yang meminta supaya wilayahnya dapat ditetapkan sebagai perdikan karena suatu alasan tertentu. Dari hasil pembelian yang dilakukan oleh pejabat tinggi, kemudian tanah tersebut diubah jenisnya.
Dari hasil pembelian tersebut tidak harus diubah jenisnya tergantung pada keadaan alam yang berada di sekitarnya. Banyak hal yang melatarbelakangi pengubahan jenis tanah tersebut, diantaranya dikaitkan dengan keadaan alam tempat bangunan keagamaan berdiri di luar wilayah sīma yang kelangsungan kegiatan pemujaannya didukung oleh wilayah yang dijadikan sīma aŋśa.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, banyak prasasti yang dikeluarkan oleh raja maupun pejabat tinggi kerajaan berkenaan dengan penetapan suatu wilayah yang dijadikan daerah sīma, salah satunya diawali dengan pembelian sebidang tanah.
Tanah tersebut kemudian diubah jenisnya menjadi sawah maupun tidak dengan tujuan tertentu tergantung pada keadaan alam yang mendukung daerah tersebut. Prasasti-prasasti yang memuat pengubahan jenis tanah dan berhubungan dengan adanya penetapan sīma aŋśa, antara lain adalah: prasasti Humanding 797 Ś, prasasti Jurungan 798 Ś, prasasti Mamali 800 Ś, prasasti Mulak I 800 Ś, prasasti Kwak II 801 Ś, prasasti Taragal 802 Ś, prasasti Ratawun I 803 Ś prasasti Ratawun II 803 S, prasasti Ramwi 804 S, dan prasasti Lintakan 841 Ś.
Dalam upaya penetapan suatu wilayah menjadi daerah sīma untuk bangunan keagamaan, berarti wilayah tersebut merupakan wilayah yang bebas dari pajak penuh yang ditarik oleh pegawai kerajaan. Meskipun demikian, tidak berarti daerah yang ditetapkan sebagai sīma dibebaskan dari tanggungan pembayaran kepada kerajaan tetapi kewajiban tersebut dialihiokasikan bagi kelangsungan hidup bangunan keagamaan milik kerajaan.
Selain memperhatikan keberadaan pejabat-pejabat terkait, di dalam upaya penetapan sīma, terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang diperhatikan berhubungan dengan keadaan tanah dan iklim yang terjadi di wilayah tersebut. Iklim sangat mempengaruhi pertimbangan yang harus diambil sebagai keputusan dalam sarana tanam. Curah hujan di pulau Jawa rata-rata cukup banyak lebih kurang 2000 mm per tahun. Selain itu, faktor tanah merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai media tanam.

PAPARAN DATA
Analisis
Di daerah yang beriklim tropis, sebelum dikenal teknologi pertanian lebih lanjut, kegiatan pertanian sangat bergantung pada perubahan musim. Secara alamiah masyarakat telah dapat mengatur waktu untuk kegiatan menanam, pengolahan tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Seluruhnya telah terjadwal dalam perputaran waktu setahun.
Keadaan iklim yang dipengaruhi oleh angin musim menyebabkan adanya musim kemarau dan penghujan. Panjang-pendek musim-musim itu berbeda menurut Ietak daerahnya di kepulauan Indonesia. Selain itu, panjang pendek musim-musim itu tidak selalu sama setiap tahunnya. Adanya dua musim sebagai gejala tetap dalam musim berpengaruh pada berbagai aspek dalam kehidupan penduduk kepulauan Indonesia misalnya pada pola pertanian, pola pelayaran, dan aspek-aspek lain yang dipengaruhi iklim.
Di lain pihak berdasarkan perputaran musim yang berlaku di Indonesia secara umum dikenal adanya dua musim, yaitu musim kemarau (April-Oktober) dan musim penghujan (Oktober-April). Dengan demikian maka bulan-bulan Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, dan bulan Asuji berada pada saat musim kemarau, sedangkan bulan-bulan Caitra, Karttika, Marghasira, Posya, Magha, dan Phalguna berada pada musim penghujan. Pada upaya penetapan sīma, pihak kerajaan tetap melaksanakan acara tersebut dengan mempertimbangkan musim yang sedang berlangsung.
Berdasarkan pertimbangan musim yang berlangsung, masyarakat pada masa itu juga mempertimbangkan untung dan rugi yang akan mereka tanggung apabila hasil panen yang akan mereka harapkan mengalami kegagalan. Pada penetapan suatu wilayah menjadi sīma aŋśa, pertimbangan yang diambil pada musim penghujan adalah dengan membuka lahan yang lebih luas jika dibandingkan dengan lahan yang dibuka pada musim kemarau (perbandingannya dapat dilihat pada tabel. 1 dan 2). Selain memanfaatkan sarana irigasi tentunya pada musim ini mereka juga dapat memanfaatkan air hujan. Pada saat itu mereka sangat memperhatikan keadaan musim untuk mendukung pertanian mereka, sehingga pada saat itu mereka membuka lahan seluas mungkin untuk dapan memanfaatkan air hujan. Selain penetapan yang dilakukan pada musim penghujan, pejabat kerajaan pada saat itu juga menetapkan pula sīma aŋśa pada musim kemarau, tetapi kisaran luas pada penetapan tersebut tidak seluas pada musim penghujan.
Pada prasasti Humanding dan Lintakan, penetapan yang dilakukan adalah dengan langsung memilih jenis tanah yang berupa sawah sebagai sīma aŋśa, sehingga pada penetapan tersebut tanpa ada pengubahan dari jenis tanah yang satu kejenis tanah yang lain. Di samping itu ada juga kebijakan untuk mengubah suatu jenis tanah apabila suatu daerah ingin ditetapkan menjadi sīma aŋśa (tabel. 3).
Berdasarkan keadaan musim yang sedang berlangsung, bisa saja mereka telah mempertimbangkan keadaan musim saat itu. Hal ini disebabkan karena penetapan sīma aŋśa pada saat itu merupakan hasil permintaan penduduk karena suatu alasan tertentu yang menginginkan daerahnya dapat dijadikan sīma aŋśa. Karena salah satu tujuan daerah sīma harus menunjang kelangsungan hidup bangunan keagamaan. Permohonan penduduk wilayah tersebut dalam mengajukan permohonan dapat dipandang secara mendadak dan lepas dari perhitungan pihak kerajaan. Setelah
melalui berbagai pertimbangan, pihak kerajaan akhirnya menetapkan daerah tersebut
menjadi daerah sima sīma aŋśa.
Sīma aŋśa yang ditetapkan dengan jumlah ukuran tanah yang besar terjadi pada saat musim penghujan, hal ini disebabkan karena pada musim penghujan kebutuhan tanaman air untuk memenuhi syarat pertumbuhan tanaman akan tercukupi. Jika syarat tersebut terpenuhi, tanaman yang ditanam tidak akan mengalami kekeringan dan hasil yang akan dipetik dapat diperkirakan melimpah yang dapat menunjang kebutuhan bangunan keagamaan. Sedangkan pada saat musim kemarau, penetapan sīma aŋśa dilakukan dengan ukuran tanah yang relatif lebih kecil jika dibandingkan pada penetapan sīma aŋśa yang dilakukan pada musim penghujan.
Keadaan semacam ini disebabkan karena mereka juga mempertimbangkan kerugian yang akan ditanggung apabila panen mereka gagal akibat bahaya kekeringan. Apabila tanah yang ditetapkan menjadi sīma aŋśa ukurannya kecil, maka kerugian yang akan ditanggung pun juga akan semakin kecil pula.
Penetapan sīma tersebut, tentunya akan dapat menyangga keberadaan bangunan yang merupakan bangunan keagamaan sedangkan pihak kerajaan belum mempunyai bangunan keagamaan di wilayah tersebut. Salah satu cara untuk memanfaatkan wilayah tersebut adalah dengan memberikan anugerah sīma aŋśa dengan bangunan keagamaan yang berada di luar daerah yang tanahnya dijadikan sīma .

KESIMPULAN
Pertimbangan musim saja pada penetapan sīma ini, tampaknya kurang begitu diperhatikan sebagaimana penetapan sīma yang biasa dilakukan. Pejabat yang berwenang menetapkan sīma tersebut akan mengubah jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain yang hasilnya lebih menguntungkan.
Dengan memperhatikan pertimbangan musim yang sedang berlangsung, serta keletakan bangunan keagamaan yang disangga oleh tanah sīma tersebut, dalam melakukan pengubahan jenis tanah tertentu menjadi jenis tanah yang lain diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Hal ini diperlukan untuk mendukung bangunan keagamaan yang keletakkannya berada di luar wilayah sīma.

(artikel oleh ageng yudhanto dari berbagai sumber)

Saturday, January 12, 2008

BENTENG VREDEBURG: BANGUNAN KOLONIAL BERGAYA INDIS

Sejarah dan Latar Belakang Pembangunan Benteng Vredeburg
Sebelum dibangun benteng pada lokasi sekarang, pada tahun 1760 Pemerintah Belanda membangun benteng yang bersifat sangat sederhana bernama Benteng Rusternburg yang artinya benteng peristirahatan. Pada perkembangannya, Benteng Rusternburg tersebut diusulkan pihak Belanda melalui Gubernur W.H. Van Ossenberch agar disempurnakan, dengan dalih agar lebih dapat menjamin keamanan pemerintahan Sultan dan sewaktu-waktu dapat memberikan bantuan pertahanan yang sempurna. Pada tahun 1765, akhirnya rencana tersebut direstui oleh Sultan. Pembuatan benteng ini diarsiteki oleh Frans Haak. Kemudian bangunan benteng yang baru tersebut dinamakan Benteng Vredeburg yang berarti perdamaian.
Pada awalnya bangunan ini merupakan milik Kesultanan, tetapi atas kepentingan Belanda maka bangunan ini berpindah tangan (dihibahkan) pada Pemerintahan Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur Direktur Pantai Utara Jawa.
Bangunan ini memiliki denah berbentuk persegi dan menghadap ke barat. Pintu gerbang utama berada pada sebelah barat dihubungkan oleh jembatan yang berfungsi sebagai jalan keluar masuk utama. Adapun ciri khasnya pintu gerbang ini bergaya arsitektur klasik Eropa (Yunani-romawi). Hal ini dapat dilihat melalui bagian tympanium yang disangga empat pilar yang bergaya doric.
Pada saat masih berfungsi sebagai benteng, bangunan ini dikelilingi oleh parit yang berfungsi sebagai pertahanan awal dari serangan musuh. Namun sekarang parit tersebut hanya tersisa di bagian depan gerbang utama dan hanya berfungsi sebagai drainase saja.
Sampai saat ini masih kita jumpai bastion yang berada di keempat sudut benteng. Keempat bastion itu diberi nama Jayawisesa (barat laut), Jayapurusa (timur laut), Jayaprokosaningprang (barat daya), dan Jayaprayitna (tenggara).
Pada bagian dalam benteng terdapat bangunan yang disebut gedung Pengapit Utara dan Selatan. Bangunan ini pada mulanya diperkirakan digunakan sebagai kantor administrasi. Berdasarkan hasil penelitian bentuk asli, bangunan yang ada merupakan bentuk asli dengan ornamen gaya Yunani masa Renaisance. Hal ini menunjukkan usianya yang relative lebih tua dan lebih dekoratif dibandingkan dengan bangunan yang lain.
Dari masa ke masa benteng ini mengalami perubahan fungsi dan bentuk sesuai keadaan politik saat itu. Seperti yang dijumpai pada masa sekarang, benteng ini telah berubah fungsi menjadi museum.

Benteng Vredeburg sebagai salah satu bangunan kolonial bergaya Indis
Masuknya bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, khususnya ketika Belanda mulai menjajah Indonesia, mengakibatkan munculnya kota-kota bentuk baru berupa kota administrasi kolonial Belanda. Susunan spasial kota administrasi berkisar di sekeliling sebuah lapangan atau alun-alun (Menno, S dan Mustamin Alwi, 1992:22).
Bangunan merupakan salah satu unsur pembentuk kota. Dalam sebuah kota kolonial Belanda, tentu bangunan-bangunan yang ada mempunyai ciri-ciri kolonial. Bangunan kolonial adalah bangunan bercorak arsitektur kolonial yang dimanfaatkan untuk kegiatan fungsional di zaman kolonial (Radjiman, 1997:4). Ciri-ciri umum bangunan yang bersifat kolonial adalah bangunan tinggi, kokoh, dan beratap datar untuk gedung serta atap miring untuk perumahan biasa dan memiliki detail-detail tertentu (ibid).
Pengaruh arsitektur kolonial yang berkembang di Indonesia pada akhirnya disebut dengan arsitektur atau gaya bangunan indis. Gaya bangunan indis adalah gabungan antara gaya bangunan budaya lokal dengan gaya bangunan budaya pendatang (Soekiman, 1997:3). Lebih lanjut Djoko Soekiman menerangkan, terutama untuk rumah tinggal ada tiga tipe atau bentuk yang khas. Ketiga tipe itu adalah bangunan rumah tinggal mewah gaya Indis kuno (Het landhuis in oud Indische stijl), bangunan rumah bergaya Belanda kuno (Hollandsche stijl), dan bangunan mewah bergaya kompeni (Compagniestijl) (ibid).
Gaya bangunan indis ini lebih sering muncul pada bangunan rumah yang diperuntukkan bagi pegawai pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia (Sumintardja, 1978:116). Gaya ini muncul sebagai penyesuaian terhadap keadaan lingkungan Indonesia yang meliputi lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan fisik berkaitan dengan iklim tropis khatulistiwa dan pemanfaatan bahan bangunan setempat, sedangkan lingkungan sosial berkaitan dengan kebudayaan masyarakat setempat (Radjiman, 1997:5).
Bangunan sebagai bentuk aspirasi dari pembuatnya memiliki berbagai macam hal yang ingin disampaikan. Hal-hal tersebut biasanya adalah fungsi dari bangunan, status pemakainya, serta etnisitas pemakai. Dari hal-hal tersebut maka akan terlihat bahwa sebenarnya bangunan itu juga mencerminkan diri pembuat dan pemakainya.
Benteng Vredeburg sebagai salah satu bangunan masa kolonial Belanda juga mengadopsi teknik pembuatan bangunan indis. Hal ini dapat dilihat dari bentuk bangunan-bangunan yang ada di dalamnya, seperti pada gedung Pengapit Utara dan Selatan. Bangunan yang semula diperkirakan digunakan sebagai kantor administrasi ini dibangun dengan memperhatikan penyesuaian terhadap keadaan lingkungan Indonesia, yaitu berkaitan dengan iklim tropis khatulistiwa dan pemanfaatan bahan bangunan setempat. Bentuk bangunan yang dibuat tinggi juga berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara.

(disarikan dari berbagai sumber)

PROSES PENYARINGAN AIR DANAU TASIK ARDI DI BANTEN LAMA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kerajaan Banten berlangsung dari sekitar tahun 1552 hingga tahun 1813. Selama 261 tahun kota Banten sebagai Pusat pemerintahan kerajaan Banten terletak di tepi Laut Jawa, sehingga ciri pemerintahan kerajaan Banten ialah maritim. Sebagai kerajaan yang bersifat maritim, Banten mempunyai pelabuhan laut yang berfungsi sebagai salah satu penunjang kelancaran jalannya pemerintahan.
Laut Jawa merupakan jalur lalu lintas laut yang cu­kup ramai, sebab dilalui oleh kapal-kapal dari berbagai negara asing maupun dari Nusantara. Kapal-kapal tersebut adalah kapal para pedagang, sehingga dapat disimpulkan bahwa Laut Jawa merupakan jalur perdagangan internasional. Berdasarkan letaknya, Banten sering disinggahi oleh kapal-kapal para pedagang asing maupun pedagang Nusantara.
Adanya kegiatan perdagangan mengakibatkan bertambah­nya jumlah penduduk. Fryke memperkirakan jumlah penduduk Banten pada tahun 1680 sekitar 700 ribu jiwa. Perkiraan ini berdasarkan atas perbandingan dengan jumlah penduduk kota-kota di Asia Tenggara.
Adanya pertambahan penduduk di kota Banten mengaki­batkan perluasan kota, yang digunakan untuk pemukiman dan mendirikan bangunan. Adanya fasilitas yang memadai di kota Banten diharapkan oleh penguasa agar kota Banten dising­gahi oleh para pedagang, sehingga kota menjadi ramai. Para penguasa Banten berusaha membangun bangunan peribadatan, bangunan yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan, serta sarana perdagangan. Bukti adanya kegiatan pembangunan di pusat pemerintahan kerajaan Banten pada masa lampau dapat dilihat dari adanya benteng kraton Surasowan, reruntuhan kraton Kaibon, Masjid Agung Banten, menara Masjid Agung Banten dan Masjid Pecinan Tinggi, reruntuhan Masjid Ko­ja, Klenteng, Danau Tasik Ardi dan benteng Speelwijk.
Padatnya penduduk dengan keheterogenannya, mengaki­batkan perkembangan wilayah kota Banten. Perkembangan wi­layah ini digunakan untuk melayani kebutuhan penduduk Ban­ten misalnya pemukiman penduduk, perdagangan, gedung peme­rintahan, transportasi darat, kebutuhan air bersih, tem­pat peribadatan dan tempat rekreasi. Kesemuanya diperkira­kan disediakan oleh pemerintah kerajaan Banten, dengan ha­rapan orang-orang asing akan tetap tinggal dan supaya le­bih banyak orang asing tertarik untuk datang ke Banten. Kesemuanya itu dilakukan oleh penguasa Banten, sebab sema­kin banyak orang yang mengunjungi Banten, maka akan lebih banyak upeti yang akan diterima oleh para penguasa Banten.
Pada masa pemerintahan Pangeran Abdullah Kadir atau Sultan Abulmafakir, sektor pertanian berkembang pesat dan meluas, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan bendungan. Danau Tasik Ardi merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan air bersih bagi istana Surosowan dan penduduk kota sekaligus sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di sekitar kota. Sistem filtrasi air dengan metode pengendapan di Pengindelan Abang, Pengindelan Putih dan Pengindelan Emas merupakan bukti majunya teknologi pengelolaan air pada masa tersebut.

PAPARAN DATA
Danau Tasik Ardi merupakan salah satu sumber air di Surosowan. Danau Tasik Ardi juga berfungsi sebagai penampung air Sungai Cibanten untuk disalurkan dan dibersihkan sebelum masuk ke Surosowan untuk selanjutnya dipakai mandi dan keperluan sehari-hari. Berdasarkan letak Banten di dataran alluvial pantai dapat diketahui bahwa muka air tanah di daerah ini relatif dangkal, selain itu airnya payau. Hal tersebut disebabkan adanya susupan air laut yang masuk ke daratan. Muka air tanah daerah Banten berkisar antara setengah meter hingga tiga meter dari permukaan tanah.Kondisi Banten Lama yang terletak di pinggir pantai, memiliki lingkungan tanah yang banyak menyerap air laut. Hal ini menyebabkan air tanahnya menjadi payau. Pembangunan saluran air melalui pipa-pipa yang dialirkan dari danau buatan Tasik Ardi, merupakan satu satu cara untuk mengatasi lingkungan pemukiman Kota Banten Lama. Tetapi saluran air itu tidak dapat menjangkau perkotaan secara keseluruhan, hanya dikhususkan untuk sultan dan keluarga di Surosowan.

ANALISIS
Kota adalah suatu tempat yang banyak dikunjungi orang dari berbagai suku bangsa untuk mengadakan kontak perdagangan dan kerohanian. Salah satu akibat dari kontak tersebut maka kota menjadi padat penduduknya. Meningkatnya kepadatan penduduk menga­kibatkan meningkatnya kebutuhan penduduk baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Untuk menanggulangi se­gala kebutuhannya, maka diusahakan berbagai fasilitas un­tuk memperlancar tercapainya kebutuhan pribadi dan kebu­tuhan umum. Guna mengatur segala yang ada di tempat terse­but maka diperlukan organisasi sosial yang menimbulkan sistem hukum tersendiri.
Kota Banten digunakan sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banten dalam jangka waktu yang cukup panjang. Se­lama itu, kota Banten mengalami masa timbul, berkembang dan masa keruntuhannya, Pada masa tumbuh dan berkembangnya ko­ta, penguasa berusaha membangun fasilitas-fasilitas penun­jang kelengkapan kota. Hal ini diperlukan bagi Banten se­bab kota ini merupakan pusat politik, ekonomi dan sosial budaya.
Salah satu peninggalan dari Banten Lama adalah sebuah danau buatan yang dikenal dengan nama Tasik Ardi. Tasik berarti danau dan Ardi berati buatan. Danau Tasik Ardi merupakan salah satu sumber air di Surosowan. Danau Tasik Ardi juga berfungsi sebagai penampung air Sungai Cibanten untuk disalurkan dan dibersihkan sebelum masuk ke Surosowan untuk selanjutnya dipakai mandi dan keperluan sehari-hari. Berdasarkan letak Banten di dataran alluvial pantai dapat diketahui bahwa muka air tanah di daerah ini relatif dangkal, selain itu airnya payau. Hal tersebut disebabkan adanya susupan air laut yang masuk ke daratan. Muka air tanah daerah Banten berkisar antara setengah meter hingga tiga meter dari permukaan tanah.
Sebelum masuk ke Surosowan, air yang kotor dan keruh dari Danau Tasik Ardi disalurkan dan disaring melalui bangunan Pengindelan yang berjumlah tiga. Bentuk bangunan pengindelan saat ini hanya berupa sebuah bangunan persegi sederhana dengan ukuran panjang kurang lebih 20 meter, lebar kurang lebih 7 meter dan tinggi kurang lebih 3 meter. Pada bagian atapnya menyerupai bagian bentuk atap yang umum terdapat pada bangunan perumahan. Pengindelan memiliki makna sebagai penyaringan air. Terdapat tiga macam pengindelan di daerah Banten Lama, yakni: Pengindelan Merah untuk penyaringan air tahap pertama, Pengindelan Putih untuk tahap kedua yang tentunya lebih jernih air yang dihasilkannya, sedangkan yang terakhir adalah Pengindelan Emas dimana air yang keluar dari bangunan ini nantinya akan dialirkan menuju tempat pemandian raja-raja didalam istana Surosowan.
Air yang diperoleh, berasal dari danau Tasik Ardi yang berjarak kurang lebih 2,5 km ke arah barat daya dari Istana Surosowan. Ditengah danau Tasik Ardi terdapat pulau berbentuk segi empat, yang dulunya digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga sultan. Di pulau ini juga masih terdapat bangunan dan kamar mandi, yang sisa-sisanya masih dapat dilihat sampai sekarang.
Melalui pipa-pipa bawah tanah, air yang berasal dari danau Tasik Ardi dialirkan ke Pengindelan Merah, Putih dan Emas untuk melalui proses penjernihan dan pengendapan kotoran.
Data ketinggian untuk ketiga bangunan tersebut menunjukkan adanya beda ketinggian yang semakin menurun dimulai dari Tasikardi dengan ketinggian 4 meter, Pengindelan Merah 3 meter, Pengindelan Putih 2 meter, Pengindelan Emas 1 meter yang kemudian berakhir pada pemandian istana Surosowan dengan ketinggian kurang dari 1 meter. Perbedaan ketinggian ini akan sangat memudahkan sekali dalam mengalirkan air. Ketiga Pengindelan ini berada dalam satu garis lurus, menghubungkan pemandian Tirta Ardi dengan pemandian yang ada dalam istana Surosowan. (lihat gambar "Yang Baru Dari Hima")

KESIMPULAN
Masalah air di Surosowan memang sengaja dibuat canggih pada masanya. Bahkan, kesultanan Banten sengaja memisahkan air untuk keperluan kerajaan dengan air untuk rakyat jelata. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasik Ardi yang terletak sekitar dua kilometer di sebelah tenggara Surosowan.
Danau Tasik Ardi dibangun pada masa pemerintahan Pangeran Abdullah Kadir atau Sultan Abulmafakir dengan tujuan untuk rekreasi dan ibadah. Danau ini dibangun atas saran dari ibunda Sultan Abulmafakir, dengan arsiteknya Hendrik Lucaszoon Cardeel asal Belanda. Danau ini mempunyai luas 6,5 hektar dengan pulau di tengahnya. Dasar danaunya dibuat dari ubin bata. Danau Tasik Ardi juga berfungsi sebagai penampung air Sungai Cibanten untuk disalurkan dan dibersihkan sebelum masuk ke Surosowan untuk selanjutnya dipakai mandi dan keperluan sehari-hari.
Proses penjernihannya tergolong sudah maju. Sebelum masuk ke Surosowan, air yang kotor dan keruh dari Tasik Ardi disalurkan dan disaring melalui tiga bangunan bernama Pengindelan Putih, Abang, dan Emas. Di tiap pengindelan ini, air diproses dengan mengendapkan dan menyaring kotoran. Air selanjutnya mengalir ke Surosowan lewat serangkaian pipa panjang yang terbuat dari tanah liat dengan diameter kurang lebih 40 cm.

(disarikan dari berbagai sumber)